Kali
ini saya menulis sedikit berat. Tulisan ini saya ambil dari bukunya John F
Hougt, yang merupakan buku wajib untuk mata kuliah agama dan sains semester
lima. Apakah agama dan sains bisa disatukan? Kita sering melihat bahwa
adanya dikotomi antara agama dan sains. Rasa-rasanya keduanya semakin runcing
saja pertentangannya. Sains merasa paling benar karena secara logika memang
bisa dibuktikan kebenarannya. Nyata begitu. Sedangkan agama, karena bersumber
dari wahyu, maka hanya hati saja yang tahu.
Sebelum
terjadi dialog agama dan sains, kita terlebih dahulu belajar tentang bagaimana
hal itu bisa terjadi. Dalam buku Perjumpaan
Sains dan Agama dari Konflik Ke Dialog karangan
John F Hougt mengajukan sebuah pertanyaan diawal pembahasan bukunya yaitu
apakah agama bertentangan dengan sains? Agama berasal dari wahyu, kitab
suci diyakini kebenarannya mutlak sedangkan sains kebenarannnya
relatif, bisa berubah-ubah. Jika ada teori yang baru, maka teori lama bisa
dipatahkan. Jadi kebenarannya relatif. Keduanya merupakan bagian penting dari
kehidupan manusia. Pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika:
kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas [agama] dengan sains yang sebenarnya
sudah berlangsung lama. Agama
dijadikan pedoman bagi sains.
Dalam bukunya, beliau melakukan perjumpaan sains dan agama melalui empat
pendekatan yaitu.
1. Pendekatan
konflik: dalam pendekatan ini, sains dan agama tidak dapat disatukan. Kaum
skeptik (orang-orang yang menolak agama atas anama sains) alasannya adalah agama
benar-benar tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara tegas sedangan sains bisa dibuktikan kebenarannya karena berdasarkan bukti empirik. Sains menguji
kebenarannya melalui “pengalaman” dan hipotesisnya. Agama tidak dapat melakukan
hal itu. Ada suatu pertentangan antara agama dan sains. Kaum ini juga
menyangkal keberadaan Tuhan, lebih mirip dengan kaum liberal. Agama dengan
keyakinan sedangkan sains tidak berbicara tidak seperti itu sehingga mengatakan
bahwa agama berimajinasi liar. Agam terlalu emosional, bergairah, dan
subjektif. Sedangkan sains berusaha untuk objektif, tidak memihak dan tidak
terlalu bergairah. Bukan hanya kaum skeptik yang mangatakan agama bertentangan
denagan sains namun kaum biblikal (kaum yang mengatakan bahwa kitab suci adalah
benar secara harfiah). Manakala teori ilmiah tidak sesuai dengan kitab suci,
maka mereka akan mengatakan bahwa agama benar dan sains salah. Ada juga,
sekelompok kritikus lain yang mengatakan bahwa sains adalah musuh agama. Mereka
mengatakan bahwa sainslah yang menyebabkan kehidupan dan kebudayaan modern
ditimpa kehampaan dan kenirmakaan yang dahsyat. Menurut Bryan, sains secara
spiritual bersifat merusak, yaitu dengan mengikis habis otoritas-otoritas dan
tradisi-tradisi "kuno”. Akibatnya, pengalaman modernpun kehilangan makna
tradisionalnya. Tidak mungkin seseorang bersikap serentak bersikap religious
dan ilmiah secara jujur dan tegas.
2. Pendekatan
kontras : dalam pendekatan ini, ilmuwan dan teolog tidak menemukan pertentangan
yang tegas. Mereka berdiri sendiri, tidka dapat disatukan. Tidak ada gunanya
bertentangan dalam hal ini karena wilayahnya yang berbeda. Untuk menghindari
konflik, pendekatan ini menandakan bahwa kita harus terlebih dahulu
menghindari percampurbauran sains dan keimanan sehingga menghasilkan sesuatu
yang kabur. Galileo bertentangan dengan gereja yang mengatakan bahwa Tuhan itu
tiga, bagaimana mungkin Tuhan itu tiga dalam satu kesatuan. Ini tidak masuk
akal. Pemikiran Galileo abad ke 19 yang mengatakan bahwa matahari sebagai pusat
tata surya bertentangan denga gereja. Menurut pandangan ini, agama dan sains
itu berbeda. Jalan lain yang harus ditempuh yaitu peleburan. Dalam hal ini
adalah suatu upaya untuk menghindari konflik sehingga nyaris tidak bisa
dibedakan antara agama dan sains. Hal ini cukup menarik karena paling aman.
Menurut kubu kontras, keyakinan yang didokrin itu sama sakali bukan pengenalan
ilmiah yang tidak memihak atau netral. Tujuan dari pendekatan ini adalah
menghindari konflik, campur baur dan memisahkan secara tegas. Masing-masing
memiliki persoalan sendiri, wilayanh sendiri dan terpisah. Keduanya perlu ilmu
dan menghormati.
3. Pendekatan
kontak: suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi dan kemungkinan
adanya penyesuaian anatra sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara
bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religious dan teologis.
Bersama-sama tapi tidak harus melebur, mrupakan pendekatan yang menanggapi
kontras, berdiskusi tapi tidak mempengaruhi. Kelebihannya adalah menambah
cakrawala keilmuwan. Kelemahannya sains tidak tampak murni dan objektif..
teologi tidak murni dan subjektif (bersifat relative). Contoh penemuan air laut
dan tawar yang telah disebutkan dalam Alquran.
4. Pendekatan
konfirmasi dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah
suatu totalitas yang terbatas, koheren, rasional, dan tertata. Dalam hal ini
memberikan gambaran bahwa segala sesuatu yang terkonsisten mendorong pencarian
ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan ilmu pengetahuan dari keterkaitan pada
ideologi-ideologi yang membelenggu. Iman yang merupakan kepercayaan mendasar
akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains,
melainkan justru merupakan sumbernya. Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak
ada juga rangsangan melalui sains. Agama sumber konfirmasi terhadap kepercayaan
yang niscaya mendasari sains. Agama tidak dapat menambahkan apapun pada daftar
penemuan ilmiah. Agama yang dianggap sebagai konfirmasi atas pengandaian iman
yang menjadi sumber dar sains tidak akan merintangi malah mendorong sains.
Dalam pendekatan konfirmasi ini agama dan sains tidak saling bertentangan,
tetapi saling mengukuhkan, menguatkan dan mendukung seluruh kegiatan ilmiah
tanpa kehilangan identitas masing-masing. Agama diperoleh dengan keyakinan,
iman, percaya sedangkan sains berdasarkan pada bukti empirik. Secara
ontologis atau
hakikat keilmuan membahas tentang teori umum mengenai semua hal sedangkan sains memandang realitas sebagai sesuatu
yang empiris, kalkulatif, dan verifikatif.
Agama memandang
realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisik, intuitif, dan spekulatif. Secara
epistemologis (asal,
sifat, karakteristik) membahas tentang pengetahuan paradigma sains, bersifat positivistik, emperik,
dan rasional.
Paradigma agama, bersifat, spritual, metafisi, dan moral. Walaupun berbeda dalam pandangan namun agama yang
bersumber dari wahyu dipandang lebih tinggi dari pada akal manusia atau rasio.
Dalam ilmu pengetahuan tidak dapat berdiri sendiri dalam melakukan upaya-upaya
ilmiah. sains selalu berakar pada iman. Hal-hal yang tetap yang selalu mendasai
ilmu dalah iman bahwa alam semesta adalah tertib dan hukum yang menyertainya
rasional. Iman mampu membawa manusia menuju ke pengethuan yang
komprehensif. Oleh karena itu, hal-hal yang harus diperhatikan dalam
penemuan, agama memberikan dorongan agar sains terus berkembang namun harus
sesuai dengan agama. Penemuan-penemuan sains yang bertentangan dengan agama
harus dihentikan. Hal ini bertujuan agar tidak menghancurkan kesakralan agama
sebagai sesuatu yang suci dan dijunjung tinggi.
Daftar Pustaka
John F. Haught. 2004. Perjumpaan
Sains dan Agama Dari Konflik ke Dialog. Bandung:
Penebit Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar