Selasa, 08 Maret 2016

Pertentangan Agama dan Sains dengan Empat Pendekatan


Kali ini saya menulis sedikit berat. Tulisan ini saya ambil dari bukunya John F Hougt, yang merupakan buku wajib untuk mata kuliah agama dan sains semester lima.  Apakah agama dan sains bisa disatukan? Kita sering melihat bahwa adanya dikotomi antara agama dan sains. Rasa-rasanya keduanya semakin runcing saja pertentangannya. Sains merasa paling benar karena secara logika memang bisa dibuktikan kebenarannya. Nyata begitu. Sedangkan agama, karena bersumber dari wahyu, maka hanya hati saja yang tahu.
Sebelum terjadi dialog agama dan sains, kita terlebih dahulu belajar tentang bagaimana hal itu bisa terjadi. Dalam buku Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik Ke Dialog karangan John F Hougt mengajukan sebuah pertanyaan diawal pembahasan bukunya yaitu apakah agama bertentangan dengan sains? Agama berasal dari wahyu, kitab suci diyakini kebenarannya mutlak sedangkan sains kebenarannnya relatif, bisa berubah-ubah. Jika ada teori yang baru, maka teori lama bisa dipatahkan. Jadi kebenarannya relatif. Keduanya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika: kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas [agama] dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Agama dijadikan pedoman bagi sains. Dalam bukunya, beliau melakukan perjumpaan sains dan agama melalui empat pendekatan yaitu.
1.      Pendekatan konflik: dalam pendekatan ini, sains dan agama tidak dapat disatukan. Kaum skeptik (orang-orang yang menolak agama atas anama sains) alasannya adalah agama benar-benar tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara tegas sedangan sains bisa dibuktikan kebenarannya karena berdasarkan bukti empirik. Sains menguji kebenarannya melalui “pengalaman” dan hipotesisnya. Agama tidak dapat melakukan hal itu. Ada suatu pertentangan antara agama dan sains. Kaum ini juga menyangkal keberadaan Tuhan, lebih mirip dengan kaum liberal. Agama dengan keyakinan sedangkan sains tidak berbicara tidak seperti itu sehingga mengatakan bahwa agama berimajinasi liar. Agam terlalu emosional, bergairah, dan subjektif. Sedangkan sains berusaha untuk objektif, tidak memihak dan tidak terlalu bergairah. Bukan hanya kaum skeptik yang mangatakan agama bertentangan denagan sains namun kaum biblikal (kaum yang mengatakan bahwa kitab suci adalah benar secara harfiah). Manakala teori ilmiah tidak sesuai dengan kitab suci, maka mereka akan mengatakan bahwa agama benar dan sains salah. Ada juga, sekelompok kritikus lain yang mengatakan bahwa sains adalah musuh agama. Mereka mengatakan bahwa sainslah yang menyebabkan kehidupan dan kebudayaan modern ditimpa kehampaan dan kenirmakaan yang dahsyat. Menurut Bryan, sains secara spiritual bersifat merusak, yaitu dengan mengikis habis otoritas-otoritas dan tradisi-tradisi "kuno”. Akibatnya, pengalaman modernpun kehilangan makna tradisionalnya. Tidak mungkin seseorang bersikap serentak bersikap religious dan ilmiah secara jujur dan tegas.
2.      Pendekatan kontras : dalam pendekatan ini, ilmuwan dan teolog tidak menemukan pertentangan yang tegas. Mereka berdiri sendiri, tidka dapat disatukan. Tidak ada gunanya bertentangan dalam hal ini karena wilayahnya yang berbeda. Untuk menghindari konflik, pendekatan ini menandakan bahwa kita harus terlebih dahulu menghindari percampurbauran sains dan keimanan sehingga menghasilkan sesuatu yang kabur. Galileo bertentangan dengan gereja yang mengatakan bahwa Tuhan itu tiga, bagaimana mungkin Tuhan itu tiga dalam satu kesatuan. Ini tidak masuk akal. Pemikiran Galileo abad ke 19 yang mengatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bertentangan denga gereja. Menurut pandangan ini, agama dan sains itu berbeda. Jalan lain yang harus ditempuh yaitu peleburan. Dalam hal ini adalah suatu upaya untuk menghindari konflik sehingga nyaris tidak bisa dibedakan antara agama dan sains. Hal ini cukup menarik karena paling aman. Menurut kubu kontras, keyakinan yang didokrin itu sama sakali bukan pengenalan ilmiah yang tidak memihak atau netral. Tujuan dari pendekatan ini adalah menghindari konflik, campur baur dan memisahkan secara tegas. Masing-masing memiliki persoalan sendiri, wilayanh sendiri dan terpisah. Keduanya perlu ilmu dan menghormati.
3.      Pendekatan kontak: suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi dan kemungkinan adanya penyesuaian anatra sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religious dan teologis. Bersama-sama tapi tidak harus melebur, mrupakan pendekatan yang menanggapi kontras, berdiskusi tapi tidak mempengaruhi. Kelebihannya adalah menambah cakrawala keilmuwan. Kelemahannya sains tidak tampak murni dan objektif.. teologi tidak murni dan subjektif (bersifat relative). Contoh penemuan air laut dan tawar  yang telah disebutkan dalam Alquran.
4.      Pendekatan konfirmasi dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini adalah suatu totalitas yang terbatas, koheren, rasional, dan tertata. Dalam hal ini memberikan gambaran bahwa segala sesuatu yang terkonsisten mendorong pencarian ilmiah akan pengetahuan dan membebaskan ilmu pengetahuan dari keterkaitan pada ideologi-ideologi yang membelenggu. Iman yang merupakan kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan sumbernya. Tanpa unsur kepercayaan ini kiranya tidak ada juga rangsangan melalui sains. Agama sumber konfirmasi terhadap kepercayaan yang niscaya mendasari sains. Agama tidak dapat menambahkan apapun pada daftar penemuan ilmiah. Agama yang dianggap sebagai konfirmasi atas pengandaian iman yang menjadi sumber dar sains tidak akan merintangi malah mendorong sains. Dalam pendekatan konfirmasi ini agama dan sains tidak saling bertentangan, tetapi saling mengukuhkan, menguatkan dan mendukung seluruh kegiatan ilmiah tanpa kehilangan identitas masing-masing. Agama diperoleh dengan keyakinan, iman, percaya sedangkan sains berdasarkan pada bukti empirik. Secara ontologis atau hakikat keilmuan membahas tentang teori umum mengenai semua hal sedangkan sains memandang realitas sebagai sesuatu yang empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Agama memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisik, intuitif, dan spekulatif. Secara epistemologis (asal, sifat, karakteristik) membahas tentang pengetahuan paradigma sains, bersifat positivistik, emperik, dan rasional. Paradigma agama, bersifat, spritual, metafisi, dan moral. Walaupun berbeda dalam pandangan namun agama yang bersumber dari wahyu dipandang lebih tinggi dari pada akal manusia atau rasio. Dalam ilmu pengetahuan tidak dapat berdiri sendiri dalam melakukan upaya-upaya ilmiah. sains selalu berakar pada iman. Hal-hal yang tetap yang selalu mendasai ilmu dalah iman bahwa alam semesta adalah tertib dan hukum yang menyertainya rasional. Iman mampu membawa manusia menuju ke pengethuan yang komprehensif. Oleh karena itu, hal-hal yang harus diperhatikan dalam penemuan, agama memberikan dorongan agar sains terus berkembang namun harus sesuai dengan agama. Penemuan-penemuan sains yang bertentangan dengan agama harus dihentikan. Hal ini bertujuan agar tidak menghancurkan kesakralan agama sebagai sesuatu yang suci dan dijunjung tinggi.

Daftar Pustaka
John F. Haught. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama Dari Konflik  ke Dialog. Bandung: Penebit Mizan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar