Cerita
ini saya dapatkan dari Ustadz Fatkhurrahman Al Aktitanji, DPPAI UII.
Ada
empat kisah yang akan saya ceritakan disini. Kisah pertama datang dari seorang
ibu yang memiliki tiga orang anak. Kesemuanya sudah berkeluarga dan tinggal
jauh dari kediaman Sang Ibu. Suatu hari, Sang Ibu pergi ke rumah anak
bungsunya, dia seorang anak laki-laki.
“Nak,
ibu datang kesini mau pinjam uang sebesar lima juta rupiah, apakah kamu punya
uang sebesar itu?” pinta
Sang Ibu
Si
anak menjawab “Sebentar, Bu, saya bicarakan dahulu dengan istri”
Sang
anak kemudian pergi ke dapur dan menemui istrinya. Ketika berada di dapur
inilah, dia melihat di lemari bahan makanan pokok seperti gula, susu, beras dan
lain sebagainya. Kemudian dia berpikir dan menghitung, berapa biaya yang telah
dikeluarkan Sang Ibu untuk menghidupi dia. Dari mulai bayi hingga sekarang.
Mulai dari menghitung jumlah susu perharinya berapa, perbulan, pertahun
kemudian menghitung beras, dan seterusnya, hinggga kemudian dia menangis. Dia
pergi ke tempat dimana Sang Ibu menuggu kemudian menyerahkan sejumlah uang lima
juta kepada ibu.
“Ibu,
maafkan saya, saya tidak bisa menghitung berapa banyak uang, biaya yang
dikeluarkan oleh ibu untuk membuat saya bisa sampai saat ini, saya tidak bisa
menghitungnya, karena saking banyaknya. Ini uang lima jutanya. Uang ini milik
ibu, jangan anggap ini uang sebagai pinjaman”
“Karena
saya lalai, ibu sampai harus meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup”
Akhirnya
sang anak baru sadar, bahwa dia tidak pernah mengirimkan uang kepada Sang Ibu
setelah dia berkeluarga. Dia lupa, bahwa kewajiban seorang anak, walaupun sudah
menikah, juga masih bisa memberikan tanggung jawabnya pada orang tuanya
terutama ibu. Berbeda dengan seorang perempuan, ketika seorang wanita diboyong
oleh suaminya, maka, ayahnya sudah berlepas tanggung jawab. Dan tanggung jawab
itu pindah ke pundak suami. Dalam sebuah hadits shahih, diriwayatkan bahwa
Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah Saw, ”Siapakah yang berhak terhadap
seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Suaminya” (apabila sudah menikah).
Aisyah Ra bertanya lagi, ”Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?”
Rasulullah menjawab, “Ibunya” (HR. Muslim)
Cerita yang kedua berasal dari sepasang
suami istri yang memiliki tiga orang anak. Ketiganya sudah menjadi orang-orang
yang sukses. Ada yang jadi insyinyur, dokter dan yang satu lagi saya lupa.
Ketiganya sudah memilki keluaga dan tinggal jauh dari kedua orang tua yang
sudah sepuh, lemah dan sakit-sakitan. Ketiga anaknya tidak pernah pulang
manjenguk kedua orang tuanya, namun mereka selalu mentransfer uang yang
dimilikinya lebih dari cukup. Ketika ada kebutuhan orang tuanya yang bersifat
mendadak, juga langsung dicukupi. Yang membuat kedua orang tua ini sedih adalah
mereka merindukan katiga anaknya, bukan kiriman uangnya. Anak-anaknya tidak
pernah pulang, hanya bertelepon saja, lebaranpun tidak pernah pulang. Padahal
orang tuanya merindukan masa tua yang bahagia berkumpul bersama dengan anak
cucu. Ternyata hal ini jauh dari harapan. Kedua orang tua ini sadar, ada yang
salah dengan doa yang mereka panjatkan. Mereka berdua hanya berdoa agar anaknya
sukses, tidak seperti mereka yang hidup miskin, namun mereka lupa agar anaknya
manjadi anak yang sholeh-sholehah. Sholeh bisa dunia dan akhirat. Akhirnya, anak-anak ini baru
pulang ketika orang tuanya sudah meninggal dunia.
QS surat As Shofat 100
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
saleh.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar