Jumat, 25 Maret 2016

Pengalaman Scalling (part 2)


Pada bagian yang lalu, saya pernah menceritakan pengalaman pertama tentang scalling, sekarang, inilah kelanjutan kisahnya. Ceck it out.
Nah, permasalahan terjadi ketika saya sudah tidak kerja. Kemana harus mencari dokter untuk membersihkan ni gigi. Coz kontrol gigi tetap harus berjalan, minimal dua kali dalam setahun. Dan alhamduliliah saya rutin melakukannnya. Mau ke dokter spesialis gigi, mahal. Akhirnya, atas saran dari adik tercinta, saya melakukan pembersihan gigi di puskesmas terdekat, biayanya murah. Hanya empat puluhlima ribu plus pendaftarannya.
Saya tidak perlu mengantri panjang, namun lumayan lama. Saya datang sekitar jam sepuluh. Hanya dua pasien, setelah pasien pertama selesai, gantian pasien kedua yaitu anak kembar, jadinya pasien ketiga yah….hehehe, anak ini berusia lima tahun. Hebat, baru berusia lima tahun sudah berani ke dokter gigi, cabut gigi lagi. Ingat zaman dahulu, pernah cabut satu kali, itu saja di sekolah. Dulu, disekolah setiap beberapa bulan sekali sering ada cabut gigi, suntik apa…gitu, saya enggak tahu persis. Nah, itu pertama kali saya dicabut giginya, ces….kaya’ dikasih es, tahu-tahu gigi udah hilang dan ditempat ekas gigi udah banyak darah bercampur kapas. Itu pengalaman dicabut paksa giginya. Padahal saya sudah sembunyi karena punya firasat mau dicabut. Gigi saya ancur sih, gingsul, tapi parah gingsulnya. Dulu sempat membuat saya tidak pede, namun sekarang, sepertinya banyak yang harus dipikirkan selain ngurusin masalah gigi yang bikin saya tambah enggak bersyukur. Aduh, ngelantur. Maaf, kembali ke topik.
Setelah hampir tiba giliran saya, ada mbak-mbak cantik dan seorang ibu seumuran dengan emak saya yang memegangi giginya. Sepertinya sakit gigi. Mbak-mbaknya ini, dari model pakaian dan gaya kerudungnya, seperti mahasiswi UII, gaul gitu. Padahal saya juga dari UII tapi g gaul blas. Abaikan kata ini.
Dokternya emang udah agak berumur sih. Tapi ramahnya minta ampun dan juga pelayanan giginya bagus. Setelah selesai dibersihin, kita dikasih kaca, buat lihat, udah puas belum layanannya, kalau belum, kita bisa minta yang bagian X belum bersih misalnya.
Sempat bermasalah dengan gigi saat pertengahan semester tiga, gigi bungsu yang sedang tumbuh, dan kata dokter, harus dicabut, kalau tidak bisa dilakukan disini (makasudnya puskesmas), karena peralatan yang kurang lengkap, harus dibawa ke rumah sakit. Sempat enggak bisa mangap, sakit kalau buat makan dan apalagi bicara.  Tapi Alhamdulillah setelah diberi obat, sembuh.

Kata beliau, cara menggosok gigi yang benar bisa mencegah karang gigi, pakai sikat gigi yang bisa menjangkau bagian gigi yang sulit dijangkau, beliau malah pakai sikat gigi anak-anak, dan…akhirnya saya pun mengikutinya. Ternyata lebih enak dan lembut, berasa masih anak-anak. Pakai sikat gigi yang lembut, setelah makan, untuk membersihkan sisa makanan, berkumur-kumur. Hemmmm…sekarang baru saya ngeh, adik saya kalau habis makan kadang kumur-kumur di depan saya, saya marahin. Jijik banget. Ternyata ini alasannya (dia juga rajin ke dokter gigi). Periksa gigi enam bulan sekali, untuk membersihkan karang gigi maupun mengontrol kalau ada gigi yang berlubang, ntar ditambal kok, tenang saja, rasanya, dingin-dingin, ganjel gitu. Kalau nambal gigi, didokter gigi langganan saya dulu, limapuluh ribu pergigi. Ketika mengunyah, jangan hanya memakai gigi kanan atau kiri saja. Dua-duanya harus digunakan untuk mencegah agar gigi tidak goyang, tidak berkarang  dan tetap sehat. Kata dokter, ibarat rumah, ruamah yang g pernah dipakai, tetap saja kotor, malah lebih kotor kan? Sama juga dengan gigi kita. Ok, itu aja pengalaman yang bisa saya bagi buat teman-teman, jangan takut untuk ke dokter gigi, enggak sakit kok. Supaya tetap sehat, cantik, dan tembah pede karena bebas dari karang gigi. 

1 komentar: