Sampai saat ini, saya masih sering
merenung. Apakah benar jalan yang saya tempuh? Apakah perkataan saya salah?
Sebab menjadi anak yang baik tidak melulu hanya menjadi juara, bintang kelas,
berprestasi dan segala sesuatu yang menyangkut tentang apa yang bisa dilihat
dengan kasat mata.
Saya bukan orang yang pintar, cerdas
maupun pandai, biasa saja. Orang tua saya juga bukan orang yang menuntut saya
untuk menjadi juara, berprestasi atau bahkan rangking satu. Namun sebagi anak,
akan berusaha menjadi yang terbaik. Sempat terpikir dalam benak saya. Sudahlah,
biasa saja, toh itu juga tak akan membuat mu menjadi orang yang diunggulkan
orang tua.
Anak yang baik, ummunya akan pintar dalam
pelajaran matematika, fisika, kimia dan bahasa inggris. Sementara saya, mengapa
dengan pelajaran eksak itu, saya harus berpikir lebih keras, senut-senut,
bahkan harus menangis untuk menyelesaikannya. Saya merasa tidak secerdas
teman-teman, tidak secemerlang mereka, saya harus mengulang pelajaran dirumah
saat hari itu juga agar untuk pelajaran berikutnya saya bisa nyambung. Saya
harus bisa memahami pelajaran hari ini saat itu juga dengan bertanya teman,
atau guru. Mungkin, teman saya merasa jeleh atau eneg dengan apa
yang saya lakukan. Dan mungkin juga merasa sebal karena saya tidak mudeng-mudeng
ketika diterangkan.
“Ini maksudnya gimana ya, Fa?”
“Kok, hasilnya bisa sampai seperti ini”
“Aku ngitungnya sudah sampai sini, tapi
kok hasilnya beda ya?”
Mungkin teman-teman akan mengira bahwa
yang masuk jurusan IPA itu adalah anak-anak yang pintar, jenius, serius,
berkacamata tebal, serius dan kemana-mana membawa buku. Tapi saya, bukan bagian
dari mereka yang seperti itu. saya masih harus deg-degan dengan guru
metematika, fisika, maupun kimia ketika mereka mengajar di kelas. Saya
benar-benar takut jika saya tidak bisa mengerjakan tugas ini. Takut tidak lulus
UAN. Sekalipun saya duduk bersama dengan teman saya, Latifah yang cerdas,
berteman dengan Dwi yang cepat dalam menghitung ditambah dengan Miftahul Jannah
yang juara paralel, tetap saja saya jauh dari mereka.
Tahun-tahun sebelumnya
Ada sejarahnya mengapa saya membanci
pelajaran yang berhubungan dengan hitung menghitung, menggambar atau yang
berhubungan dengan dimensi. Sejak kecil, saya tidak menyukai pelajaran ini.
Saya lebih suka belajar menghafal pancasila, undang-undang, ilmu pengetahuan
sosial atau cerita. Saya tumbuh dengan imajinasi berdasarkan tontonan yang saya
lihat. Menjadi orang kaya, pedagang, pemilik restoran, memasak aneka makanan,
bermain peran-peran yang membuat saya menjadi orang sukses. Di sekolah, SD,
saya sering menjadi paduan suara, membaca undang-undang, puisi atau mengikuti
lomba hafalan seperti agama atau ilmu pengetahuan alam (IPA SD masih gampang,
hafalan, bukan menghitung). Dengan semua kondisi ini, membuat saya tidak bisa
berpikir logis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar