Kamis, 31 Maret 2016

Masih Terus Berpikir

Sampai saat ini, saya masih sering merenung. Apakah benar jalan yang saya tempuh? Apakah perkataan saya salah? Sebab menjadi anak yang baik tidak melulu hanya menjadi juara, bintang kelas, berprestasi dan segala sesuatu yang menyangkut tentang apa yang bisa dilihat dengan kasat mata.
Saya bukan orang yang pintar, cerdas maupun pandai, biasa saja. Orang tua saya juga bukan orang yang menuntut saya untuk menjadi juara, berprestasi atau bahkan rangking satu. Namun sebagi anak, akan berusaha menjadi yang terbaik. Sempat terpikir dalam benak saya. Sudahlah, biasa saja, toh itu juga tak akan membuat mu menjadi orang yang diunggulkan orang tua.
Anak yang baik, ummunya akan pintar dalam pelajaran matematika, fisika, kimia dan bahasa inggris. Sementara saya, mengapa dengan pelajaran eksak itu, saya harus berpikir lebih keras, senut-senut, bahkan harus menangis untuk menyelesaikannya. Saya merasa tidak secerdas teman-teman, tidak secemerlang mereka, saya harus mengulang pelajaran dirumah saat hari itu juga agar untuk pelajaran berikutnya saya bisa nyambung. Saya harus bisa memahami pelajaran hari ini saat itu juga dengan bertanya teman, atau guru. Mungkin, teman saya merasa jeleh atau eneg dengan apa yang saya lakukan. Dan mungkin juga merasa sebal karena saya tidak mudeng-mudeng ketika diterangkan.
“Ini maksudnya gimana ya, Fa?”
“Kok, hasilnya bisa sampai seperti ini”
“Aku ngitungnya sudah sampai sini, tapi kok hasilnya beda ya?”
Mungkin teman-teman akan mengira bahwa yang masuk jurusan IPA itu adalah anak-anak yang pintar, jenius, serius, berkacamata tebal, serius dan kemana-mana membawa buku. Tapi saya, bukan bagian dari mereka yang seperti itu. saya masih harus deg-degan dengan guru metematika, fisika, maupun kimia ketika mereka mengajar di kelas. Saya benar-benar takut jika saya tidak bisa mengerjakan tugas ini. Takut tidak lulus UAN. Sekalipun saya duduk bersama dengan teman saya, Latifah yang cerdas, berteman dengan Dwi yang cepat dalam menghitung ditambah dengan Miftahul Jannah yang juara paralel, tetap saja saya jauh dari mereka.
Tahun-tahun sebelumnya

Ada sejarahnya mengapa saya membanci pelajaran yang berhubungan dengan hitung menghitung, menggambar atau yang berhubungan dengan dimensi. Sejak kecil, saya tidak menyukai pelajaran ini. Saya lebih suka belajar menghafal pancasila, undang-undang, ilmu pengetahuan sosial atau cerita. Saya tumbuh dengan imajinasi berdasarkan tontonan yang saya lihat. Menjadi orang kaya, pedagang, pemilik restoran, memasak aneka makanan, bermain peran-peran yang membuat saya menjadi orang sukses. Di sekolah, SD, saya sering menjadi paduan suara, membaca undang-undang, puisi atau mengikuti lomba hafalan seperti agama atau ilmu pengetahuan alam (IPA SD masih gampang, hafalan, bukan menghitung). Dengan semua kondisi ini, membuat saya tidak bisa berpikir logis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar