Saya
mendengar cerita ini dari ibu saya. Saat itu bapak saya mau pergi ke sawah.
Seorang kakek berjalan mendekatinya.
“Nak,
kulo nyuwun rokok setunggal”[1]
pinta sang kakek
“Waduh,
Pak, kulo mboten pernah ngerokok, dadi mboten gadah”[2]
Setelah
berpikir sejenak, bapak memberikan sesuatu kepada sang kakek
“Matur
nuwun, Nak, niki sek sampeyan sek panen jagung”[3]
kata kakek, beliau memperhatikan aktifitas bapak. Memang, saat itu bapak sedang
ngusung[4]
jagung dari sawah sampai rumah.
“Enggeh,Pak”[5]
kata bapak
“Oh,
geh, mugi-mugi jenengan diparingi rezeki engkang kathah, berkah” [6]
sang kakek mendoakan bapak kemudian berlalu.
“Amin-amin”
lirih bapak mengaminkan doa sang kakek
Tahukah
siapa orang yang saya sebut kakek itu? Dia bukan malaikat, jin atau syetan
(hehehehe…) jelaslah, dia menusia.
Kata
tetangga saya, dia itu seorang yang sangat kaya dari desa sebelah. Beliau
sering berjalan sendirian kesana kemari tak tentu arah. Kadang-kadang
meminta-minta. Hal itu dilakukan karena beliau itu tidak waras kata orang
–orang. Mengapa bisa begitu? Apa yang salah? Bukankah dia orang kaya? Jawabannya
adalah, beliau itu agak tidak waras karena harta yang berupa tanah, dijual oleh
anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Saya tidak tahu, apakah mereka meminta
izin terlebih dahulu kapada orang tuanya untuk menjual tanah itu atau tidak. Saat
ini, memang di daerah saya sedang berlangsung pembangunan industri
besar-besaran. Tanah dijual dengan harga selangit karena dibeli oleh pemilik
pabrik yang kebanyakan orang china. Jadi tidak salah jika tanah di daerah saya
memilki harga jual yang sangat tinggi. Sang kakek stress karena merasa
tidak memiliki soboan[7].
biasanya beliau sering menggarap sawah, memanen, namun karena semua sawah yang
telah diberikan kepada anak-anaknya dijual, beliau menjadi seperti itu.
Bukan
hanya satu orang, tetangga saya yang lebih dekat, parah lagi. Seorang
kakek-kakek juga, beliau sering berjalan sangat jauh, kadang muter-muter[8]
desa membawa karung atau buntalan berisi baju-baju. Kalau ditanya oleh tetangga
“Mboten kesel pak? Kok mlampah adoh banget?”[9]
“Lha,
wong aku nunggang jaran putih kok”[10]
Kasus
yang dialami oleh mereka berdua sama
Saat
saya mendengar cerita ini, sedih, takut, kasihan dan tentu saja sakit. Kepala
dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Saya jadi teringat dengan apa yang
dikatakan oleh sahabat Nabi Abu Bakar As Shidiq Ya Allah ... Letakkan dunia di tanganku, jangan kau
letakkan dunia di hatiku. Terus, bagaimana dengan kakek ini? Bagaimana
perasaannya? Apa yang mesti dilakukan? Terus, anak-anaknya…tega sekali mereka.
Membiarkan masa tua orang tuanya dengan seperti itu? Bagaimana sikap baktinya
ketika dia sudah uzur? Tidak ingatkah mereka dengan apa yang telah dilakukan
orang tua dari saat digendong sampai saat ini?. Apalah arti harta melimpah jika
melihat orang yang paling disayangi menjadi setengah gila seperti itu? Saya
yakin tidak ada gunanya. Mungkin orang tua tidak mengapa ketika harta dijual,
tetapi, orang yang sudah tua, perlu yang namanya tempat memuaskan hobi,
menyalurkan keinginan, sisakanlah sedikit buat mereka, atau carilah penggganti
tanah walaupun sepetak untuk mereka. Seseorang yang pekerja keras, walaupun
sudah tua, mereka tidak mau dipaksa berdiam diri didalam rumah, mereka akan
tetap aktif. Dan aktifnya orang-orang sepuh di desa saya adalah bertani,
walaupun hanya memilki sepetak kecil tanah. Bagaimana perasaan orang tua jika
hasil yang mereka usahakan ketika masih muda tiba-tiba dijual semuanya tanpa
diganti dibelikan yang baru?
Saya malah jadi banyak mikir,
bagaimana harta tadi diperoleh? Bagaimana pendidikan, mindset anak tentang
harta dari orang tuanya? Apakah…dan apakah. Semoga cerita ini memberikan
inspirasi. Wallahu’alam
[1] Nak,
saya minta rokok satu
[2] Waduh,
pak, saya tidak pernah merokok jadi tidak punya
[3] Terima
kasih, Nak, ini kamu sedang penen jagung?
[4] Memanggul
[5]
Iya, Pak
[6]
Semoga kamu mendapat rezeki yang banyak dan berkah
[7]
Tanah yang dibeli ketika sudah pensiun. Ketika sudah tua. mereka bosan dengan
aktifitas sehari-hari karena sudah tidak diperbolehkan oleh anaknya untuk
bekerja, jadi, agar tidak bosan, mereka biasanya menggarap tanah dengan tujuan
agar bisa menyalurkan hobi dan sebagai hiburan, karena kebutuhannya sudah
dicukupi oleh sang anak. Biasanya untuk membuat mereka tetap aktif dan sehat.
[8]
Berjalan berkeliling desa
[9]
Enggak capek, Mbah?
[10]
Lah, saya menunggang kuda putih kok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar