Ehmmmm, saya tipe orang yang agak
tidak suka kalau novel, cerpen atau apapun diadaptasi menjadi film atau
sinetron. Menurut saya jauh dari harapan. Tapi saya menghargai kreativitas
sutradara dalam mengadopsinya. Beliau juga memilki imajinasi yang berbeda kan?
Kenapa bisa begitu? Saya tidak tahu. Tapi ketika novel dibuat menjadi film,
saya merasakan spiritnya kurang. Ada beberapa hal yang g tersampaikan lewat
film. Makanya, saya lebih memilih membaca. Tapi, namanya orang kan beragam ya.
Ada orang yang lebih menyukai filmnya daripada bukunya karena dia lebih mudah menangkap makna daripada
membaca. Itu artinya, pengarang ingin agar semua lapisan masyarakat bisa
menikmati filmnya menjangkau semua kalangan tanpa terkecuali. Jadi
mengakomodasi yang tidak suka membaca. Kan resiko dari membaca itu banyak
sekali, salah satunya ngantuk.
Yah, semua orang kan berbeda. Udah
belajar kecerdasan majemuk to?
Yah, begitulah. Ada yang lebih
nyambung melalui film, ada yang g. Seperti bisa kita lihat, Ayat-Ayat Cinta.
Ada yang berbeda antara novel dan filmnya. Tapi tetap bagus kok, bahkan, saya
nonton filmnya dahulu daripada baca novelnya. Ini juga cukup mengganggu saya
sebenarnya. Kenapa? Karena, ketika saya membaca novelnya, sosok Fakhri
terbayang-bayang Ferdi Nuril, trus Aisha oleh Rianti Cartwright. Padahal,
setelah membaca novelnya. Bener-bener keren itu novel. Banyak cewek pengen
dapat suami seperti fakhri yang sempurna
banget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar