Rabu, 13 April 2016

Engkau anak siapa itu tidak penting

Engkau anak siapa itu tidak penting
Yang penting peganglah sopan santun
Karena kebaikannya akan mengayakanmu
Daripada nasab yang terhormat
Sesungguhnya seorang pemuda adalah yang mengatakan
Inilah saya
Dan bukanlah seorang pemuda yang mengatakan
Inilah ayahku[1]
Tema ini berat menurut saya, karena berhubungan dengan mendidik anak, dan saya belum pernah punya anak. Yaiyalah, kan saya belum nikah.
Hemmm….mantap juga seseorang yang melantunkan syair ini. Ini pembelajaran bagi kita bahwa, seseorang dikenal bukan karena ayahnya, keturunannya, namun karena dirinya sendiri. Pernah tidak bertemu dengan seseorang yang membanggakan keturunannya? Yang berdarah biru atau kuning itu? hehehehe….
Seseorang dikenal orang karena kabaikannya, bukan karena nasabnya. Yang penting bagusin akhlaknya.
 “Ayahku yang memiliki banyak toko itu loh”
“Ehm, ibuku yang keturunan bla….bla…bla….”
Padahal dirinya sendiri, g sehebat ayahnya.
“Itu kan ayahnya…bukan dia”
Ada juga yang bilang,
 “Wah, dia kaya banget!”
“Kan yang kaya ayahnya”
Trus, bagi yang memilki ayah yang keren, dan terkenal tapi g bisa mengimbanginya, ini juga beban bagi si anak.
“Gimana kalau aku g bisa seperti bapak, ibu?”
Jangan berkecil hati teman, banyak cara mengukur kesuksesan, bukan hanya diukur dengan materi dan popularitas.
Saya pernah membaca cerita Hanum Salsabila yang menulis biografi tentang ayahnya, Amin Rais. Gara-gara anak seorang politikus terkenal, beliau pernah diprotes karena tambalan giginya g sempurna (Hanum kan lulusan dokter gigi UGM, tetapi lebih memilih manjadi penulis, wartawan dan sekarang pemilik ADi TV). Loh, apa hubungannya coba? Saat itu saya juga mikir. Sang dosen bilang, ini sudah saya modifikasi, tapi intinya adalah “Anak Amin Rais kok  g rapi nambal giginya”
Bener-bener ga nyambung kan?
“Emang harus perfect ya?”
“G boleh salah?”
“Ini yang terkenal ayahnya, bukan saya, saya mah apa tuh”
Bahkan dua orang pasangan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma (teman-teman pasti tahu, masternya bulu tangkis Indonesia ini) menyarankan anaknya untuk tidak mengikuti jejak mereka. Kenapa? Karena bisa jadi akan membuat minder dan merasa terbebani dengan kesuksesan kedua orang tuanya. 
Memang begitulah kadang-kadang, kesuksesan sang ayah/ibu membebani keturunan berikutnya. Tentu saja kita tidak bisa menjudge demikian. Ukuran kesuksesan itu sangat beragam ya kawan.



[1] Abdullah Nashih ‘Ulwan. 2012. Pendidikan Anak Dalam Islam. Solo: Insan Kamil. Hlm 243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar