Hari ini tepat di hari ulang tahun
saya. Saya belajar tentang ketulusan memberi. Saya jadi teringat dengan mata
kuliah yang saya ikuti tadi pagi yaitu komunikasi pendidikan tentang
sifat-sifat yang menguntungkan komunikasi. Saat itu saya dan teman-teman
diminta menyebutkan sifat-sifat yang ada pada diri kami, yang menguntungkan
komunnikasi. Dengan pedenya saya menyebut ketulusan, karena merasa tulus ketika
membantu. Namun kejadian maghrib tadi membuat saya bertanya kembali. Apakah saya
tulus? Apakah benar saya sebagai seseorang yang tidak mengharapkan imbalan?
Sepertinya saya harus lebih banyak
belajar dari anak-anak kampung Candirejo tempat dimana saya mengikuti gerakan PAI Mengajar yang diadakan oleh fakultas.
"Mbak, sini” panggil Fata. Digandenganya saya ketika
sedang bermain dengan anak-anak.
Fata adalah murid di TPA ini, usianya delapan tahun. Dia
kelas dua SD
“Untung Mbak Ulufi dan Mbak Cici datang" sambung
Mita riang. Dia anak kelas empat SD. Karena badannya bongsor, jadi kelihatan
lebih dewasa.
“Sini, Mbak,” Sani
berusaha membujuk saya dan Mbak Cici. Mbak cici adalah teman saya di PAI
mengajar. Kami diterjunkan oleh fakultas untuk membantu mengajar selama bulan
Ramadhan. Sani adalah teman mereka masih kelas tiga SD. badannya kecil mungil.
Namun kelihatan cantik. Ketiganya berteman.
"Kami punya
sesuatu..." mereka mengeluarkan
empat bungkus kado.
"Eh, apa
ini?" kata saya. Asli, bingung.
"Cuman ini, Mbak…” kata mereka hampir serempak
“Telat memberi kado ulang tahunnya" meminta pengertian
dari kami
“Ya Allah, haru, saya memeluk ketiga anak itu. Ra Rabbi,
anak-anak ini....begitu perhatiannya pada kami. Padahal siapa kami? Kami baru
beberapa minggu disini. Mereka belum begitu mengenal kami, namun….kado inilah
yang menguatkan jalinan diantara kami.
"Kalian semua adalah kado buat Mbak, minta doanya saja,
Mbak Ulufi enggak minta apa-apa...” kata saya berkaca-kaca.
Tahu tidak apa isinya teman-teman?
Empat buah buku tulis, tipe x dua biji, pensil dua, bolfoin
satu dan dua penghapus.
Ya, Allah, saya dan Mbak Cici dapat itu semua, dan yang lebih
ajaib, semuanya sama, warna hingga bungkus kadonya.
Mungkin, pikir mereka, biar saya dan Mbak Cici tidak iri ya…
Cerdas!
“Dari mana kalian mendapatkan uang ini?” tanyaku
"Dari buka celengan?" kata Mita dan Sani serempak
"Minta orang tua" lanjut Mita
Jegler!!!
Saya tercekat, haru,
"Kalian enggak
dimarahin" tanyaku dengan khawatir. Takut mereka dimarahin orang tuanya
"Enggak, kan sudah bilang, kami memberi karena Mbak Cici
dan Mbak Ulufi kalau ngajar enggak pernah marah-marah" jawab mereka polos
Ya, Allah, mereka... Allahummaj’alni khairan mimma yaquuluna waghfirli ma la
ya’lamun, wa la tu ‘akhidzni bi ma yaquluun
Ya Allah jadikanlah diriku lebih baik dari
yang mereka ucapkan, dan ampunilah diriku atas dosa yang tidak mereka ketahui
dan jangan Engkau adzab diriku atas apa yang tidak mereka ketahui”
Teman-teman juga perlu tahu, setiap kami kesana,
anak-anak itu mengerubungi kami, menggelendot manja, memeluk, mencium, merebut
perhatian kami dengan tingkah lakunya yang khas kekanak-kanakan. Mulai dari
menangis, berantem ketika berebut mengaji, sampai tidak mau mengaji ketika
tidak dengan saya. Ya Allah…
Dan, ketika saya iseng bertanya dengan salah satu
dari mereka
“Fata sering memeluk dan menciumi ibuknya ya”
kataku. Karena dia sering mencium dan memelukku. Saya saja tidak pernah dicium
atau dipeluk emak saya. Saya malah yang meluk beliau.
“Enggak” jawabnnya mantap
Nah, lho!
Ketika terakhir saya mengajar disana, sehabis
shalat terawih, saya berpamitan dengan sesepuh-sesepuh dan orang yang selalu
berinteraksi dengan saya. Tak ketinggalan berpamitan dengan ibunya Mita. Sama
seperti anaknya. Beliau tidak pelit, saya dibawain dua puluh lima tusuk sate
plus lima buah lontong besar-besar. Saya sudah menolak karena selain kenyang,
karena sudah makan, mau diapakan sate sebanyak ini. Namun ibu Mita tetap
memaksa dan menyodorkan sate itu ke saya
“Buat sahur nanti” katanya
Ya Allah, akhirnya sate itu tidak saya makan
semuanya. Saya bingung mencari teman satu kos yang mau diajak menghabiskan.
Tapi tidak ada karena sudah pada pulang kampung. Ada satu yaitu Mbak Apro, tapi
beliau menjawab “Sudah kenyang, Ulufi, buat sahur aja”
Tahu sendiri kan, kalau puasa itu makan sedikit
sudah terasa kenyang. Akhirnya saya sms teman-teman yang kelihatannnya masih di
Jogja. Alhamdulillh ada Dilla yang mau menerima sate dari ibu Mita.
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya
kalian saling mencintai,”(HR
al-Bukhari, al-Baihaqi, Abu Ya’la)
Mungkin mereka tidak tahu tentang hadist ini,
namun praktek yang mereka lakukan, mengingatkan saya untuk lebih dan lebih
melakukan banyak hal kepada sesama. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini,
semuanya by design Allah termasuk pertemuan saya dengan mereka. Saya belajar
dari kejadian ini, setidaknya bertanya kembali tentang ketulusan, keikhlasan,
kejujuran, menghormati, menghargai, memberi yang terbaik dan yang saya yakin
tidak akan mudah dan juga tidak sulit, asal mau dan berusaha. Semoga kebaikan
yang mereka lakukan dibalas oleh Nya dengan lebih baik. amin. Ya Allah, jadikan
hariku selalu bisa menjadi kebaikan. Amin