hanacaraka
Mungkin itulah gambaran yang melekat pada diri saya.
Mengapa saya menyebutnya demikian? Saya adalah orang jawa tulen. Kedua
orangtua, dari kakek nenek, buyut, canggah, gantung siwur sampe udeg-udeg (opo
jal iki?) Berasal dari jawa.
The power of kepepet ini sekarang mulai membayangi hidup saya. Bisa karena kepepet.
Saya mendapatkan mata pelajaran Bahasa Jawa ketika SD dan SMP. Jujur, saya g
mudeng sama sekali. Asal teman-teman tahu saja, nulis hanacaraka saya bisa
kalau ada buku panduannya, alias tidak hafal. Itu saja kalau yang lurus. Kalau
udah matiin, pasangan dan lain-lain saya menyerah. Tetapi keadaan ini menjadi
terbalik ketika saya kepepet disuruh ngelesin privat semua mapel. Alamak, saya
tidak tahu kalau ternyata semua mapel disuruh ngelesin. Matematika, IPA, IPS,
PPKN, Bahasa Indonesia, PAI insya allah bisa lah. Dan akhirnya saya harus
bertemu dengan Bahasa Jawa. Di tengah-tengah ngerjain skripsi, saya belajar
mapel yang saya les privatin. Tetapi dari situlah saya belajar banyak hal.
aksara pasangan
Mulai dari saya menghafal hanacaraka, pasangan,
sandangan, buka-buka pepak bahasa jawa, kromo alus, inggil, yang kadang sampai
sekarang sudah setua ini, masih bingung.
Trus apa hubungannya dengan judul itu? Bingung ya? Saya
merasa belum bisa berbahasa jawa dengan baik. Masih bingung membedakan
penggunaan bahasa untuk anak-anak, seumuran, orang tua dan lain sebagainya. Tetapi
dari sini saya sedikit demi sedikit belajar, minimal g kelihatan bodoh di depan
anak yang kita privati. Bener tidak? Masak guru privatnya g hafal hanacaraka? Selain
itu, jika bukan kita yang melestarikan bahasa jawa, siapa lagi? Malu sebenarnya.
unggah-ungguh basa
(salam guru professional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar