Selasa, 11 Oktober 2016

Wong Jawa Ra Jawani

hanacaraka
Mungkin itulah gambaran yang melekat pada diri saya. Mengapa saya menyebutnya demikian? Saya adalah orang jawa tulen. Kedua orangtua, dari kakek nenek, buyut, canggah, gantung siwur sampe udeg-udeg (opo jal iki?) Berasal dari jawa.
The power of kepepet ini sekarang mulai membayangi hidup saya. Bisa karena kepepet. Saya mendapatkan mata pelajaran Bahasa Jawa ketika SD dan SMP. Jujur, saya g mudeng sama sekali. Asal teman-teman tahu saja, nulis hanacaraka saya bisa kalau ada buku panduannya, alias tidak hafal. Itu saja kalau yang lurus. Kalau udah matiin, pasangan dan lain-lain saya menyerah. Tetapi keadaan ini menjadi terbalik ketika saya kepepet disuruh ngelesin privat semua mapel. Alamak, saya tidak tahu kalau ternyata semua mapel disuruh ngelesin. Matematika, IPA, IPS, PPKN, Bahasa Indonesia, PAI insya allah bisa lah. Dan akhirnya saya harus bertemu dengan Bahasa Jawa. Di tengah-tengah ngerjain skripsi, saya belajar mapel yang saya les privatin. Tetapi dari situlah saya belajar banyak hal.

aksara pasangan
Mulai dari saya menghafal hanacaraka, pasangan, sandangan, buka-buka pepak bahasa jawa, kromo alus, inggil, yang kadang sampai sekarang sudah setua ini, masih bingung.

Trus apa hubungannya dengan judul itu? Bingung ya? Saya merasa belum bisa berbahasa jawa dengan baik. Masih bingung membedakan penggunaan bahasa untuk anak-anak, seumuran, orang tua dan lain sebagainya. Tetapi dari sini saya sedikit demi sedikit belajar, minimal g kelihatan bodoh di depan anak yang kita privati. Bener tidak? Masak guru privatnya g hafal hanacaraka? Selain itu, jika bukan kita yang melestarikan bahasa jawa, siapa lagi? Malu sebenarnya.




unggah-ungguh basa


(salam guru professional)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar