Sedih dan prihatin. Itulah yang
saya rasakan ketika mendengar teman curhat tentang biaya kuliah. Teman saya ini
baru saja masuk kuliah, dia disalah satu universitas swasta di Yogyakarta.
Kebetulan dia satu jurusan dengan saya.
“Mbak, kok mahal sekali, saya baru
saja membayar *****, punya Mbak berapa?”
Kemudian saya menyebutkan angka
****
“Loh, kok murah” katanya protes
“Iyalah, kan aku udah semester
tua”
“Oh, iya ding” tersenyum setelah
menyadari kekeliruannya
Berbicara mengenai biaya kuliah,
buat saya masalah yang sangat sensitif. Enggak juga kalau kita orang berada,
ngomongnya juga sama-sama dengan orang yang sama dengan kita. Maksudnya
sama-sama di kuliah di tempat yang sama.
“Loh, mbak, di universitas x,
murah sekali lho? Hanya ****
“Ya iyalah, kan negeri,
dimana-mana kalau negeri itu emang murah” kataku
“Please ya”, kataku
”jangan membandingkan dengan yang enggak sebanding”
Maksudnya adalah
“Gini, jangan bandingkan PT negeri
dan swasta mengenai biaya. Iya, negeri dibantu oleh pemerintah. Sedangkan
swasta, untuk biaya operasional, gaji karyawan, dosen, itu banyakan dari
mahasiswa, kalaupun dari pemerintah ada, itu hanya beberapa persen saja” jelasku.
Saya tidak sedang membandingkan
kualitas ya, saya juga masih awam dengan hal ini.
Saya teringat dengan apa yang
terjadi dengan teman ini mirip dengan apa yang terjadi pada saya ketika
semester dua. Saya sempat meminta izin pada ayah untuk pindah kampus karena
berbagai faktor, salah satunya adalah biaya. Saya sudah menghitung untung rugi
(hahahah, kayak mau jualan saja), biaya, waktu dan banyak hal. Namun orang tua
tidak memperbolehkan hal ini. Dan saya bersyukur tidak jadi melakukannya,
karena jika saya melakukannya, maka saya akan rugi waktu. Dan…belum tentu,
dikampus yang baru lebih baik daripada disini (Boleh jadi kamu membenci
sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui. Saat itu sempat stess, bingung, dan sedih. Curhat
dengan dosen mengenai hal ini, jawabannya adalah seperti yang saya tulis diatas
namun saya ubah beberapa redaksi kata-katanya. Intinya adalah “jangan
membandingkan”.
Saya juga bersyukur, orang tua tidak mengeluh mengenai biaya
kuliah. Walaupun saya tahu,saya tidak tega melihat orang tua, apalagi ibu,
harus bekerja keras dua belas jam untuk saya.Begitupun dengan ayah dan adik
saya. I'm proud of
you. Cengeng
saya kalau berhubunganddengan my family.
Back to topic. Teman saya juga mengeluhkan mengenai orang tuanya yang
merasa “kok bayar terus, mahal juga”, adik-adiknya masih kecil, orang tuanya
keberatan, membandingkan dengan universitas yang lain. Hemmm, saya ikutan
sedih.
Persis dengan
saya, tapi tidak dengan orang tua (orang tua saya, tidak tahu, hanya kalau saya
minta uang buat bayar spp, saya disuruh sabar dulu, minggu depan ya, bisa
dikirim). Jadi saya sudah memberi tahu, kalau mau bayar, bisa satu bulan
sebelum bayar.
Dulu, sebelum
saya tahu sistem pembayaran kampus, saya terkejut juga “bentar-bentar bayar,
perasaan baru kemarin bayar, sekarang bayar lagi”
Tapi setelah
itu, saya tahu sistemnya. Jadi tidak begitu kaget.
Saya hanya
mengatakan kepada teman saya
“Ok, kalau
begitu, sekarang tanya orang tua, maunya gimana? Jelasin, bla…bla…bla…”
“Apakah saya
harus pindah jurusan karena mahal atau gimana? Minta pendapat orang tua”
Tambahan dari
saya
“kalaupun
masih ingin di jurusan ini, berikan bukti kalau kamu enggak ngrepotin mereka
Caranya?
1. Nyari
beasiswa. Banyak beasiswa yang ditawarkan baik pihak kampus atau luar. Yah,
walaupun hanya bisa menutup uang makan atau transportasi. Minimal kan
mengurangi beban.
2. Mencari
uang sendiri. Bisa berjualan, membuka les, menulis atau terserah yang paling
bisa yang mana.
3. Minta
doa ke orang tua. Sering-sering kasih kabar. Misal “Pak, doakan saya lagi ikut
seleksi beasiswa, moga-moga lolos” “Ma, doakan, aku lagi ikutan lomba nulis ki,
doakan ya”. Nah, itu salah satu cara supaya orang tua tahu, bahwa kita selalu
berusaha. Apalagi kalau menang, bangga!
4. Bantu
mengurangi biaya kuliah. Bisa, insya allah. Dengan menabung. Kalau dikasih
uang, sisihkan, bagi-bagi dalam amplop. Eh, siap tahu bisa buat bantu bayar spp
ketika orang tua lagi g punya uang. Kalaupun tidak bisa bantu semuanya, minimal
seperempat, setengah, atau semuanya. Hahahaha…..
Insya Allah g
akan berkurang, malah semakin bertambah rezekinya. Amin. Kan rezeki bukan hanya
uang to?
5. Ketika
dirumah, jangan hanya duduk ongkang-ongkang. Kalau orang tua kita
sebagai petani misalanya, bantu mereka (saya jadi teringat teman saya Shodiq,
insya allah saya ceritakan kisahnya). Ga usah gengsi ke sawah. Walaupun kotor,
berminyak, berkeringat, panas dan capek. Ingat, kita kan sekolah dari usaha
ini?
Well, buat siapapun yang membaca tulisan ini, saya ingin
sekali bisa bermanfaat buat semua orang. Ini salah satu cara yang bisa saya
lakukan. Buat teman-teman saya, semangat ya….